MORALITAS
KORUPTOR
ABSTRAK
Korupsi atau rasuah bahasa latin
: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak
, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik
politisi maupun pegawai negeri serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan
itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik
yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak. Orang yang
melakukan tindakan korupsi disebut sebagai Koruptor. Korupsi di Indonesia ini
bagaikan wabah penyakit yang begitu cepat menjangit dan banyak kalangan. Maka
dari itu korupsi ini harus di berantas.
Kata
Kunci : Korupsi, Cara Memberantas Korupsi
PENDAHULUAN
Korup artinya berkenaan dengan suka menerima suap,
memanfaatkan jabatan untuk mengeruk keuntungan secara tidak sah. Tor sebagai
tambahan pada kata untuk melambangkan pelaku. Koruptor adalah pelaku
korupsi, orang yang suka melakukan korupsi ( penyelewengan kekayaan
negara).
Asal
Usul Koruptor
Pada masa kerajaan
- “Budaya-tradisi korupsi” yang tiada henti karena didorong oleh motif kekuasaan, kekayaan dan wanita.
- Perebutan kekusaan di Kerajaan Singosari (sampai tujuh keturunan saling membalas dendam berebut kekusaan: Anusopati, Tohjoyo, Ranggawuni, Mahesa, Wongateleng, dan seterusnya).
- Banten (Sultan Haji merebut tahta dari ayahnya, Sultan Ageng Tirtoyoso).
Masa Kolonial Belanda
- Dalam aspek ekonomi, raja dan lingkaran kaum bangsawan mendominasi sumber-sumber ekonomi di masyarakat. Rakyat umumnya “dibiarkan” miskin, tertindas, tunduk dan harus menuruti apa kata, kemauan atau kehendak “penguasa”.
- Dalam buku History of Java karya Thomas Stamford Raffles (Gubernur Jenderal Inggris yang memerintah Pulau Jawa tahun 1811-1816), Hal menarik dalam buku itu adalah pembahasan seputar karakter penduduk Jawa. Penduduk Jawa digambarkan sangat “nrimo” atau pasrah terhadap keadaan. Namun, di pihak lain, mempunyai keinginan untuk lebih dihargai oleh orang lain. Tidak terus terang, suka menyembunyikan persoalan, dan termasuk mengambil sesuatu keuntungan atau kesempatan di kala orang lain tidak mengetahui. Hal menarik lainnya adalah adanya bangsawan yang gemar menumpuk harta, memelihara sanak (abdi dalem) yang pada umumnya abdi dalem lebih suka mendapat atau mencari perhatian majikannya. Akibatnya, abdi dalem lebih suka mencari muka atau berperilaku oportunis.
- Kebiasaan mengambil “upeti” dari rakyat kecil yang dilakukan oleh Raja Jawa ditiru oleh Belanda ketika menguasai Nusantara (1800 - 1942) minus Zaman Inggris (1811 - 1816), Akibat kebijakan itulah banyak terjadi perlawanan-perlawanan rakyat terhadap Belanda. Sebut saja misalnya perlawanan Diponegoro (1825-1830), Imam Bonjol (1821-1837), Aceh (1873-1904) dan lain-lain.
Dewasa ini semakin banyak kasus tentang Korupsi. Korupsi
adalah tindakan tidak wajar dan tidak legal
dengan menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi
secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:
- perbuatan melawan hukum,
- penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
- memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
- merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Pasca Kemerdekaan
- Pejabat pemerintah diharuskan mengisi formulir yang disediakan, istilah sekarang : daftar kekayaan pejabat negara (DKPN). Dalam perkembangannya kemudian ternyata kewajiban pengisian formulir tersebut mendapat reaksi keras dari para pejabat. Mereka berdalih agar formulir itu tidak diserahkan kepada Paran tetapi langsung kepada Presiden.
- Ketika Laksamana Sudomo diangkat sebagai Pangkopkamtib, dibentuklah Opstib (Operasi Tertib) dengan tugas antara lain juga memberantas korupsi. Kebijakan ini hanya melahirkan sinisme di masyarakat. Tak lama setelah Opstib terbentuk, suatu ketika timbul perbedaan pendapat yang cukup tajam antara Sudomo dengan Nasution. Hal itu menyangkut pemilihan metode atau cara pemberantasan korupsi, Nasution berpendapat apabila ingin berhasil dalam memberantas korupsi, harus dimulai dari atas. Nasution juga menyarankan kepada Laksamana Sudomo agar memulai dari dirinya. Seiring dengan berjalannya waktu, Opstib pun hilang tanpa bekas sama sekali.
- Di masa pemerintahan Megawati, wibawa hukum semakin merosot, di mana yang menonjol adalah otoritas kekuasaan.
- Pada tanggal 16 Desember 2003, Taufiequrachman Ruki, dilantik menjadi Ketua KPK. KPK hendak memposisikan dirinya sebagai katalisator (pemicu) bagi aparat dan institusi lain untuk terciptanya jalannya sebuah “good and clean governance” (pemerintahan baik dan bersih) di Republik Indonesia. Taufiequrachman walaupun konsisten mendapat kritik dari berbagai pihak tentang dugaan tebang pilih pemberantasan korupsi
RUMUSAN
MASALAH
Penulis merumuskan maslaah hanya kepada mengapa bisa terjadi korupsi , mengapa sulit diberantas
dan bagaimana dampaknya terhadap sebuah kegiatan bisnis.
BATASAN
MASALAH
Membatasi masalah hanya pada :
1.
Faktor-faktor
terjadinya korupsi
2.
Dampak
dari Korupsi
3.
Strategi
dalam
TUJUAN
PENELITIAN
Mengetahui fakator-faktor dan dampak jika terjadi korupsi serta
strategi yang tepat dipakai.
LANDASAN TEORI
Korupsi atau rasuah bahasa latin : corruptio dari kata kerja corrumpere
yang bermakna busuk, rusak , menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah
tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri serta pihak lain
yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal
menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk
mendapatkan keuntungan sepihak
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi
unsur-unsur sebagai berikut:
- perbuatan melawan hukum,
- penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
- memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan
- merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Jenis tindak pidana korupsi di antaranya, namun bukan semuanya, adalah
- memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan),
- penggelapan dalam jabatan,
- pemerasan dalam jabatan,
- ikut serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara), dan
- menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri /penyelenggara negara).
Dalam arti yang luas,
korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan resmi untuk
keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah|pemerintahan rentan korupsi dalam
prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam bentuk
penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan, sampai
dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung korupsi
adalah, kleptokrasi yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para pencuri, dimana pura-pura bertindak jujur
pun tidak ada sama sekali.
Korupsi yang muncul di
bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat, terorganisasi
atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal seperti penjualan
narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu sendiri tidak terbatas
dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini dan membuat solusinya,
sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan kejahatan.
Tergantung dari negaranya
atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak.
Sebagai contoh, pendanaan partai poitik ada yang legal di satu tempat namun ada
juga yang tidak legal di tempat lain.
Kondisi yang mendukung munculnya
korupsi
- Konsentrasi kekuasaan di pengambil keputusan yang tidak bertanggung jawab langsung kepada rakyat, seperti yang sering terlihat di rezim-rezim yang bukan demokratik.
- Kurangnya transparansi di pengambilan keputusan pemerintah
- Kampanye-kampanye politik yang mahal, dengan pengeluaran lebih besar dari pendanaan politik yang normal.
- Proyek yang melibatkan uang rakyat dalam jumlah besar.
- Lingkungan tertutup yang mementingkan diri sendiri dan jaringan "teman lama".
- Lemahnya ketertiban hukum.
- Lemahnya profesi hukum
- Kurangnya kebebasan berpendapat tatau kebebasan media massa
- Gaji pegawai pemerintah yang sangat kecil.
Undang-Undang Tentang Korupsi
- Pasal 5 ayat (1) huruf a UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
(1)
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) setiap orang yang:
a)
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya
2.
pasal 6 ayat (1) huruf
b UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001:
(1)
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus
lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima
puluh juta rupiah) setiap orang yang :
b)
Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
3. Dan
pasal 12 huruf d UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001:
Dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
4. pasal
12 huruf i UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
Dipidana dengan
pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
Pegawai negeri
atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja
turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat
dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya.
5. Pasal
12 B UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001:
Setiap
gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian
suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
Yang nilainya
Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi.
Yang nilainya
kurang dari Rp. 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa
gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
Pidana bagi
pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit
Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00
(satu miliar rupiah).
6. Pasal
12 C UU No.31 Tahun 1999 jo. UU No.20 Tahun 2001:
Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima
melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Penyampaian
laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima
gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
gratifikasi tersebut diterima.
Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat
menjadi milik penerima atau milik negara.
Ketentuan
mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan
penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam
Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan KPK antara lain :
- Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana
- Undang-Undang No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negera yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
- Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Peraturan Pemerintah No 71 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
- Undang-Undang No. 8 Tahun 2010 Tindak Pidana Pencucian Uang
- Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK
- Undang-Undangn No. 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
- Peraturan Pemerintah No. 103 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2005 Tentang Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia KPK
- Undang-Undang No. 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian
METODOLOGI PENELITIAN
Untuk
memperoleh data yang digunakan dalam tugas ini, penulis menggunakan Metode
Searching di Internet, yaitu dengan membaca referensi-referensi yang berkaitan
dengan masalah yang dibahas dalm tugas ini, membaca buku-buku bacaan serta jurnal-jurnal yang berkaitan dengan
penelitian ini.
PEMBAHASAN
Menurut Arya Maheka, Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya Korupsi
adalah :
- Penegakan hukum tidak konsisten : penegakan huku hanya sebagai meke-up politik, bersifat sementara dan sellalu berubah tiap pergantian pemerintahan.
- Penyalahgunaan kekuasaan dan wewenang karena takut dianggap bodoh bila tidak menggunakan kesempatan.
- Langkanya lingkungan yang antikorup : sistem dan pedoman antikorupsi hanya dilakukan sebatas formalitas.
- Rendahnya pndapatan penyelenggaraan negara. Pedapatan yang diperoleh harus mampu memenuhi kebutuhan penyelenggara negara, mampu mendorong penyelenggara negara untuk berprestasi dan memberikan pelayanan terbaik bagi masyarakat.
- Kemiskinan, keserakahan : masyarakat kurang mampu melakukan korupsi karena kesulitan ekonomi. Sedangkan mereka yang berkecukupan melakukan korupsi karena serakah, tidak pernah puas dan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan.
- Budaya member upeti, imbalan jasa dan hadiah.
- Konsekuensi bila ditangkap lebih rendah daripada keuntungan korupsi : saat tertangkap bisa menyuap penegak hukum sehingga dibebaskan atau setidaknya diringankan hukumannya. Rumus: Keuntungan korupsi > kerugian bila tertangkap.
- Budaya permisif/serba membolehkan; tidakmau tahu : menganggap biasa bila ada korupsi, karena sering terjadi. Tidak perduli orang lain, asal kepentingannya sendiri terlindungi.
- Gagalnya pendidikan agama dan etika : ada benarnya pendapat Franz Magnis Suseno bahwa agama telah gagal menjadi pembendung moral bangsa dalam mencegah korupsi karena perilaku masyarakat yang memeluk agama itu sendiri. Pemeluk agama menganggap agama hanya berkutat pada masalah bagaimana cara beribadah saja. Sehingga agama nyaris tidak berfungsi dalam memainkan peran sosial. Menurut Franz, sebenarnya agama bisa memainkan peran yang besar dibandingkan insttusi lainnya. Karena adanya ikatan emosional antara agama dan pemeluk agama tersebut jadi agama bisa menyadarkan umatnya bahwa korupsi dapat memberikan dampak yang sangat buruk baik bagi dirinya maupun orang lain.
Dampak
Yang Di Timbulkan
Pelaku
korupsi perasaan
bersalah yang akan menghantui dalam kehidupan kelak, dan tentu dosa yang di
timbulkan dari tindakan korupsi itu sendiri. Sedangkan dampak yang akan
dirasakan oleh orang lain adalah timbulnya kerugian baik secara materi atau non
materi bagi korban tindakan korupsi, perasaan malu terhadap orang lain yang
terjadi pada keluarga pelaku tindakan korupsi. Dan dampak yang dirasakan bangsa
dan Negara Indonesia adalah kerugian secara financial atau berkurangnya
pendapatan Negara dan rusaknya struktur pemerintahan dan moral bangsa.
Timbulnya
rasa gelisah. Hal ini sesuai dengan suatu pendapat yang menyatakan bahwa
manusia yang gelisah itu dihantui rasa khawatir atau takut. Inilah dampak dari
mereka yang melakukan korupsi, selalu dihantui rasa takut jika dia tidak bisa
lagi menghidupi keluarganya. Para
koruptor merasakan kegelisahan yang datang semakin menjadi di dalam hidupnya.
Dia tidak bisa tenang karena dia berfikir jika ketahuan bagaimana, siapa yang
akan menghidupi keluarganya lagi, dan secara oromatis pekerjaannya pun menghilang
dan tidak ada lagi perusahaan yang mau menerima mantan koruptor dan dia pasti
akan terjerat dalam kasus hukum yang memaksanya harus masuk ke dalam sel
tahanan, mungkin saja nanti dia akan menjadi “buah bibir” di lingkungan
rumahnya mungkin saja dia sudah tidak lagi dipandang menjadi orang yang
terhormat kerena perbuatannya sendiri yang menjadikan dirinya di asingkan oleh
keluarga dan lingkungannya, bisa saja dampaknya ke keluarganya karena malu
melihat tersangka koruptor, keluargnya pun juga diasingkan lingkungan sekitar.
Untuk Mencegah Dan Memberantas Korupsi Yang tepat berikut adalah strategi yang di pakai yaitu:
1. Strategi Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan dengan diarahkan pada hal-hal
yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap penyebab yang terindikasi harus
dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat meminimalkan penyebab korupsi.
Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat meminimalkan peluang untuk
melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak pihak dalam pelaksanaanya
agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya korupsi.
2. Strategi Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan agar
apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur terjadi, maka perbuatan tersebut akan
dapat diketahui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya,
sehingga dapat ditindaklanjuti dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak
sistem yang harus dibenahi, sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat
berfungsi sebagai aturan yang cukup tepat memberikan sinyal apabila terjadi
suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat membutuhkan adanya berbagai disiplin
ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun ilmu politik dan sosial.
3. Strategi Represif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan terutama dengan diarahkan untuk
memberikan sanksi hukum yang setimpal secara cepat dan tepat kepada pihak-pihak
yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar pemikiran ini proses penanganan
korupsi sejak dari tahap penyelidikan, penyidikan dan penuntutan sampai dengan
peradilan perlu dikaji untuk dapat disempurnakan di segala aspeknya, sehingga
proses penanganan tersebut dapat dilakukan secara cepat dan tepat. Namun
implementasinyaharus dilakukan secara terintregasi. Bagi pemerintah banyak
pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang hendak dilaksanakan.
PENUTUP
KESMPULAN
Korupsi merupakan wabah penyakit yang tidak ada obatnya, korupsi biasanya
dilakukan oleh para pejabat yang hakekatnya sudah mempunyai harta kekayaan yang
besar tetapi tidak pernah puas dengan harta kekayaan yang dimiliki. Namun kini
korupsi telah mewabah dari korupsi kecil-kecilan dalam Bisnis UKM sampai ke
bisnis besar yaitu proyek. Sudah banyak pasal dalam Undang-Undang yang mengatur
tentang korupsi tetapi tetap saja korupsi di Indonesia masih saangat besar.
SARAN
Kejahatan korupsi ada di
mana-mana. Anda selalu harus waspada ! Mulailah waspada terhadap diri anda
sendiri terlebih dahulu. Keinginan untuk memperoleh sesuatu dengan cara yang
mudah tetapi terlarang. Bila sebagai mahasiswa anda senang melakukan “NYONTEK”,
itu permulaan kejahatan secara etika, yang dikemudian hari memudahkan anda
untuk berkorupsi.
REFERENSI
Arya Maheka, Galih Pamungkas
http://acch.kpk.go.id/ed_tj_korupsi-menurut-undang-undang
http://www.kumpulansejarah.com/2013/05/menelusuri-sejarah-korupsi-di-indonesia.html
http://www.kumpulansejarah.com/2013/05/menelusuri-sejarah-korupsi-di-indonesia.html
Kamus lengkap bahasa indonesia_Amran Y.S. Chaniago
Muzadi, H. 2004. MENUJU INDONESIA BARU, Strategi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Malang : Bayumedia Publishing.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.